Senin, 08 Oktober 2012

Konservasi Hutan Mangrove


Berdasarkan data tahun 1999, luas hutan mangrove di Indonesia diperkirakan mencapai 8,60 juta hektar dan 5,30 juta hektar di antaranya dalam kondisi rusak (Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial 2001). Kerusakan tersebut disebabkan oleh konversi mangrove yang sangat intensif pada tahun 1990-an menjadi pertambakan terutama di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi dalam rangka memacu ekspor komoditas perikanan. Hal tersebut dapat dilihat dari perkembangan luas tambak di Indonesia dari sekitar 225.000 ha pada tahun 1984 (Direktorat Jenderal Perikanan 1985) menjadi 325.000 ha pada akhir Pelita IV (Cholik dan Poernomo 1986). Selanjutnya untuk menunjang keberhasilan “Protekan 2003”, pengembangan budi daya tambak hingga tahun 2002/ 2003 ditargetkan mencapai 212.600 ha untuk program intensifikasi tambak dan 122.800 ha untuk program ekstensifikasi tambak, dengan target perolehan devisa US$ 6.778 juta (Nurdjana 1999). Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perikanan, pada tahun 1999 luas hutan mangrove yang telah dikonversi menjadi pertambakan mencapai 840.000 ha (Inoue et al. 1999) sehingga hutan mangrove banyak yang mengalami kerusakan (Gunarto dan Hanafi 2000). Hilangnya mangrove dari ekosistem perairan pantai telah menyebabkan keseimbangan ekologi lingkungan pantai terganggu. Melimpahnya bahan organik yang berasal dari sisa pakan pada usaha budi daya udang intensif di lingkungan perairan pantai juga menyebabkan bakteri oportunistik patogen berubah menjadi betul-betul patogen seperti bakteri Vibrio harveyi. Selain itu, serangan white spot baculo virus(WSBV) juga meningkat dan telah menyebabkan kematian udang windu yang dibudidayakan di tambak (Ahmad dan Mangampa 2000). Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa pada tahun 1990, sekitar 15.000 ha tambak udang mengalami gagal panen akibat serangan virus. Serangan virus ini semakin meluas hingga tahun 2000 dan menyebabkan banyak tambak udang gagal panen. Akibatnya produksi udang hasil budi daya terus menurun hingga tahun 2001, yaitu dari 180.000 metrik ton pada tahun 1995 menjadi 80.000 metrik ton pada tahun 2001 (Sugama 2002). Dampak lainnya adalah menurunnya keanekaragaman hayati organisme akuatik (Soeriaatmadja 1997). Sontirat (1989) melaporkan bahwa di kanal Klong Wan, Thailand, sebelum terjadi kerusakan mangrove terdapat 4 genus kepiting yaitu Uca sp., Sesarma sp.,Metapograpsus sp., dan Scylla serrata serta 72 spesies ikan yang termasuk dalam 6 ordo yaitu Clupeiformes, Cypriniformes, Belonoformes, Mugiliformes, Perciformes, dan Tetrodontiformes. Setelah mangrove hilang, ukuran ikan menjadi lebih kecil dan spesiesnya tinggal 34 spesies yang masuk dalam 5 ordo yaitu Clupeiformes, Cypriniformes, Beloniformes, Mugiliformes, dan Perciformes. Kondisi demikian pada akhirnya dapat menyebabkan produksi perikanan pantai menurun (Boyd 1999). Dalam era perdagangan bebas, persaingan akan semakin ketat terutama mengenai mutu produk. Selain itu, isu pelestarian sumber daya alam termasuk perikanan dan isu internasional lainnya juga menjadi penentu dalam dunia perdagangan bebas. Di bidang kehutanan dan perikanan juga telah didengungkan eco-labellingyang berkaitan dengan usaha pengelolaan sumber daya alam secara terkendali dan berkesinambungan. Pencegahan eksploitasi alam yang berlebihan tanpa memperhitungkan batas toleransinya perlu dicegah, misalnya penangkapan udang ataupun ikan dengan menggunakan pukat harimau yang dapat menangkap semua jenis dan ukuran ikan. Sebagai contoh, di perairan Pulau Podang-Podang, Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan, jumlah ikan kerapu yang dapat ditangkap semakin berkurang akibat banyaknya pukat harimau yang beroperasi (Mansyur, komunikasi pribadi). Contoh lainnya adalah produksi udang dari budi daya tambak hasil konversi hutan bakau yang tidak terkendali. Hal semacam itu akan dijadikan alasan negaranegara maju untuk menolak produk suatu negara masuk ke pasaran dunia, dengan alasan tidak menerapkan eco-labelling ataupun eco-friendly dalam sistem produksinya. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut serta untuk memulihkan kondisi perairan pantai yang telah rusak dan menciptakan ekosistem pantai yang layak untuk kehidupan ikan, maka perbaikan perairan pantai yang telah rusak mutlak dilakukan dengan melestarikan mangrove. Kegiatan ini dapatdilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat pantai sehingga akan terciptacommunity-based management, atau masyarakat sebagai komponen utama penggerak pelestarian mangrove (Bengen 2000). Kegiatan masyarakat pantai Desa Tongke-Tongke Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, dalam merehabilitasi kawasan pantai dengan penghutanan kembali mangrove merupakan salah satu contoh yang diharapkan dapat dipraktekkan di daerah lainnya. Tulisan ini membahas fungsi mangrove dan berbagai jenis ikan, udang, kepiting, serta makrobentos yang hidup sekitar perairan mangrove.

FUNGSI MANGROVE
Mangrove biasanya berada di daerah muara sungai atau estuarin sehingga merupakan daerah tujuan akhir dari partikel-partikel organik ataupun endapan lumpur yang terbawa dari daerah hulu akibat adanya erosi. Dengan demikian, daerah mangrove merupakan daerah yang subur, baik daratannya maupun perairannya, karena selalu terjadi transportasi nutrien akibat adanya pasang surut. Mangrove mempunyai berbagai fungsi. Fungsi fisiknya yaitu untuk menjaga kondisi pantai agar tetap stabil, melindungi tebing pantai dan tebing sungai, mencegah terjadinya abrasi dan intrusi air laut, serta sebagai perangkap zat pencemar. Fungsi biologis mangrove adalah sebagai habitat benih ikan, udang, dan kepiting untuk hidup dan mencari
makan, sebagai sumber keanekaragaman biota akuatik dan nonakuatik seperti burung, ular, kera, kelelawar, dan tanaman anggrek, serta sumber plasma nutfah. Fungsi ekonomis mangrove yaitu sebagai sumber bahan bakar (kayu, arang), bahan bangunan (balok, papan), serta bahan tekstil, makanan, dan obat-obatan. Mangrove mengangkut nutrien dan detritus ke perairan pantai sehingga produksi primer perairan di sekitar mangrove cukup tinggi dan penting bagi kesuburan perairan. Dedaunan, ranting, bunga, dan buah dari tanaman mangrove
yang mati dimanfaatkan oleh makrofauna, misalnya kepiting sesarmid, kemudian didekomposisi oleh berbagai jenis mikroba yang melekat di dasar mangrove dan secara bersama-sama membentuk rantai makanan. Detritus selanjutnya dimanfaatkan oleh hewan akuatik yang mempunyai tingkatan lebih tinggi seperti bivalvia, gastropoda, berbagai jenis juvenil ikan dan udang, serta kepiting. Karena keberadaan mangrove sangat penting maka pemanfaatan mangrove untuk budidaya perikanan harus rasional. Ahmad dan Mangampa (2000) menyarankan hanya 20% saja dari lahan mangrove yang dikonversi menjadi pertambakan.



UPAYA PELESTARIAN
MANGROVE
Tanaman mangrove mempunyai fungsi yang sangat penting secara ekologi dan ekonomi, baik untuk masyarakat lokal, regional, nasional maupun global. Dengan demikian, keberadaan sumber daya mangrove perlu diatur dan ditata pemanfaatannya secara bertanggung jawab sehingga kelestariannya dapat dipertahankan. Inoue et al. (1999) melaporkan bahwa di Indonesia terdapat sekitar 75 spesies vegetasi mangrove yang tersebar di 27 propinsi. Selanjutnya Suryati et al. (2001) melaporkan, beberapa vegetasi mangrove seperti Osbornia octodonta, Exoecaria agalocha, Acanthus ilicifolius, Avicennia alba, Euphatorium inulifolium, Carbera manghas, dan Soneratia caseolaris mengandung zat bioaktif yang dapat dijadikan bahan untuk penanggulangan penyakit bakteri pada budi daya udang windu. Daerah pantai termasuk mangrove mendapat tekanan yang tinggi akibat perkembangan infrastuktur, pemukiman, pertanian, perikanan, dan industri, karena 60% dari penduduk Indonesia bermukim di daerah pantai. Diperkirakan sekitar 200.000 ha mangrove di Indonesia mengalami kerusakan setiap tahun (Inoue et al. 1999). Melihat fungsi mangrove yang sangat strategis dan semakin meluasnya kerusakan yang terjadi, maka upaya pelestarian mangrove harus segera dilakukan dengan berbagai cara. Dalam budi daya udang, misalnya, harusditerapkan teknik budi daya yang ramah mangrove, artinya dalam satu hamparan tambak harus ada hamparan mangrove yang berfungsi sebagai biofilter dan tandon air sebelum air masuk ke petakan tambak. Upaya penghutanan kembali tepi perairan pantai dan sungai dengan tanaman mangrove perlu dilakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat, seperti yang dilakukan oleh masyarakat Tongke-Tongke, Sulawesi Selatan. Mangrove juga dapat dikembangkansebagai daerah wisata seperti yang telah dilakukan di Cilacap (Jawa Tengah), Sukamandi dan Cikiong, (Jawa Barat). Untuk meningkatkan produktivitas mangrove tanpa merusak keberadaannya dapat dikembangkan budi daya sistem silvo-fishery misalnya untuk pematangan atau penggemukan kepiting bakau, pentokolan benur windu, pendederan nener bandeng, dan pembesaran nila
merah. Di perairan sungai di kawasan mangrove dapat dijadikan lahan budidaya ikan dengan sistem karamba apung terutama untuk ikan kakap, kerapu lumpur, nila merah, dan bandeng.
 STRATEGI KONSERVASI
Sumberdaya alam yang merupakan perwujudan dari keserasian ekosistem dan keserasian unsur-unsur pembentuknya perlu dijaga dan dilestarikan sebagai upaya menjamin keseimbangan dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya yang sejahtera secara berkesinambungan. Kebijaksaan ini dituangkan dalam strategi konservasi, yaitu :
(a). Perlindungan terhadap sistem penyangga kehidupan, dengan menjamin terpeliharanya proses ekologi bagi kelangsungan hidup biota dan ekosistemnya;
(b). Pengawetan keanekaragaman sumberdaya plasma nutfah, yaitu menjamin terpeliharanya sumber genetik dan ekosistemnya bagi kepentingan umat manusia;
(c). Pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistemnya, yaitu dengan mengatur dan mengendalikan cara-cara pemanfaatannya, sehingga mencapai manfaat yang optimal dan berkesimnambungan. Adapun beberapa tujuan dari   konservasi mangrove adalah :
1.  Melestarikan contoh-contoh perwakilan habitat dengan tipe-tipe  ekosistemnya.
2.  Melindungi jenis-jenis biota (dengan habitatnya) yang terancam punah.
3.  Mengelola daerah yang penting bagi pembiakan jenis-jenis biota yang bernilai ekonomi.
4.  Memanfaatkan daerah tersebut untuk usaha rekreasi, pariwisata, pendidikan dan penelitian.
5.  Sebagai tempat untuk melakukan pelatihan di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
6.  Sebagai tempat pembanding bagi kegiatan monitoring tentang akibat manusia terhadap lingkungannya.
Menurut Waryono (1973) bahwa ekosistem mangrove di Indonesia berdasarkan status peruntukannya dapat dikelompokkan menjadi:
(a) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai cagar alam,
(b) kawasan konservasi dengan peruntukan sebagai suaka margasatwa,
(c) kawasan konservasi perlindungan alam,
(d) kawasan konservasi jalur hijau penyangga,
(e) kawasan hutan produksi mangrove, dan
(f) kawasan ekosistem wisata mangrove.
Ekosistem mangrove sebagai cagar alam dan suaka margasatwa berfungsi terutama sebagai pelindung dan pelestari keanekaragaman hayati. Kriteria kawasan cagar alam adalah kawasan yang ditunjuk mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta tipe ekosistemnya, mewakili formasi biota tertentu dan/atau unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia, mempunyai luas dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dengan daerah penyangga yang cukup luas, dan/atau mempunyai ciri khas dan dapat merupakan satu-satunya contoh di suatu daerah serta keberadaannya memerlukan konservasi. Kawasan suaka margasatwa adalah kawasan yang ditunjuk merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari satu jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya, memiliki keanekaragaman satwa yang tinggi, merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu, dan/atau mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Ekosistem perlindungan alam, berfungsi terutama sebagai pelindung hidrologi dan pelindung pantai serta habitat biota pantai. Jalur hijau ekosistem mangrove adalah ekosistem mangrove yang ditetapkan sebagai jalur hijau di daerah pantai dan di tepi sungai, dengan lebar tertentu yang diukur dari garis pantai dan tepi sungai, yang berfungsi mempertahankan tanah pantai dan kelangsungan biotanya. Oleh karena itu jalur hijau ekosistem mangrove dapat berfungsi sebagai ekosistem lindung dan atau ekosistem suaka alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar